Cari Blog Ini

Jumat, 12 Februari 2010

AKU MENANGIS UNTUK ADIKKU ENAM KALI

"Aku Menangis untuk
Adikku Enam Kali"
Aku dilahirkan di sebuah
dusun pegunungan yang
sangat terpencil. Hari demi
hari, orang tuaku membajak
tanah kering kuning, dan
punggung mereka
menghadap ke langit. Aku
mempunyai seorang adik,
tiga tahun lebih muda
dariku.
Suatu ketika, untuk membeli
sebuah sapu tangan yang
mana semua gadis di
sekelilingku kelihatannya
membawanya, Aku mencuri
lima puluh sen dari laci
ayahku. Ayah segera
menyadarinya. Beliau
membuat adikku dan aku
berlutut di depan tembok,
dengan sebuah tongkat
bambu di tangannya. "Siapa
yang mencuri uang itu?"
Beliau bertanya. Aku
terpaku, terlalu takut untuk
berbicara. Ayah tidak
mendengar siapa pun
mengaku, jadi Beliau
mengatakan, "Baiklah,
kalau begitu, kalian berdua
layak dipukul!" Dia
mengangkat tongkat bambu
itu tingi-tinggi. Tiba-tiba,
adikku mencengkeram
tangannya dan berkata,
"Ayah, aku yang
melakukannya!"
Tongkat panjang itu
menghantam punggung
adikku bertubi-tubi. Ayah
begitu marahnya sehingga ia
terus menerus
mencambukinya sampai
Beliau kehabisan nafas.
Sesudahnya, Beliau duduk di
atas ranjang batu bata kami
dan memarahi, "Kamu
sudah belajar mencuri dari
rumah sekarang, hal
memalukan apa lagi yang
akan kamu lakukan di masa
mendatang? ... Kamu layak
dipukul sampai mati! Kamu
pencuri tidak tahu malu!"
Malam itu, ibu dan aku
memeluk adikku dalam
pelukan kami. Tubuhnya
penuh dengan luka, tetapi ia
tidak menitikkan air mata
setetes pun. Di pertengahan
malam itu, saya tiba-tiba
mulai menangis meraung-
raung. Adikku menutup
mulutku dengan tangan
kecilnya dan berkata, "Kak,
jangan menangis lagi
sekarang. Semuanya sudah
terjadi."
Aku masih selalu membenci
diriku karena tidak memiliki
cukup keberanian untuk
maju mengaku. Bertahun-
tahun telah lewat, tapi
insiden tersebut masih
kelihatan seperti baru
kemarin. Aku tidak pernah
akan lupa tampang adikku
ketika ia melindungiku.
Waktu itu, adikku berusia 8
tahun. Aku berusia 11.
Ketika adikku berada pada
tahun terakhirnya di SMP, ia
lulus untuk masuk ke SMA di
pusat kabupaten. Pada saat
yang sama, saya diterima
untuk masuk ke sebuah
universitas propinsi. Malam
itu, ayah berjongkok di
halaman, menghisap rokok
tembakaunya, bungkus demi
bungkus. Saya
mendengarnya
memberengut, "Kedua anak
kita memberikan hasil yang
begitu baik...hasil yang
begitu baik..." Ibu mengusap
air matanya yang mengalir
dan menghela nafas, "Apa
gunanya? Bagaimana
mungkin kita bisa
membiayai keduanya
sekaligus?"
Saat itu juga, adikku
berjalan keluar ke hadapan
ayah dan berkata, "Ayah,
saya tidak mau melanjutkan
sekolah lagi, telah cukup
membaca banyak buku."
Ayah mengayunkan
tangannya dan memukul
adikku pada wajahnya.
"Mengapa kau mempunyai
jiwa yang begitu keparat
lemahnya? Bahkan jika
berarti saya mesti mengemis
di jalanan saya akan
menyekolahkan kamu
berdua sampai selesai!"
Dan begitu kemudian ia
mengetuk setiap rumah di
dusun itu untuk meminjam
uang. Aku menjulurkan
tanganku selembut yang aku
bisa ke muka adikku yang
membengkak, dan berkata,
"Seorang anak laki-laki
harus meneruskan
sekolahnya; kalau tidak ia
tidak akan pernah
meninggalkan jurang
kemiskinan ini." Aku,
sebaliknya, telah
memutuskan untuk tidak
lagi meneruskan ke
universitas.
Siapa sangka keesokan
harinya, sebelum subuh
datang, adikku
meninggalkan rumah
dengan beberapa helai
pakaian lusuh dan sedikit
kacang yang sudah
mengering. Dia menyelinap
ke samping ranjangku dan
meninggalkan secarik kertas
di atas bantalku: "Kak,
masuk ke universitas
tidaklah mudah. Saya akan
pergi mencari kerja dan
mengirimu uang."
Aku memegang kertas
tersebut di atas tempat
tidurku, dan menangis
dengan air mata bercucuran
sampai suaraku hilang.
Tahun itu, adikku berusia 17
tahun. Aku 20.
Dengan uang yang ayahku
pinjam dari seluruh dusun,
dan uang yang adikku
hasilkan dari mengangkut
semen pada punggungnya di
lokasi konstruksi, aku
akhirnya sampai ke tahun
ketiga (di universitas). Suatu
hari, aku sedang belajar di
kamarku, ketika teman
sekamarku masuk dan
memberitahukan, "Ada
seorang penduduk dusun
menunggumu di luar sana!"
Mengapa ada seorang
penduduk dusun mencariku?
Aku berjalan keluar, dan
melihat adikku dari jauh,
seluruh badannya kotor
tertutup debu semen dan
pasir. Aku menanyakannya,
"Mengapa kamu tidak bilang
pada teman sekamarku
kamu adalah adikku?" Dia
menjawab, tersenyum,
"Lihat bagaimana
penampilanku. Apa yang
akan mereka pikir jika
mereka tahu saya adalah
adikmu? Apa mereka tidak
akan menertawakanmu?"
Aku merasa terenyuh, dan
air mata memenuhi mataku.
Aku menyapu debu-debu
dari adikku semuanya, dan
tersekat-sekat dalam kata-
kataku, "Aku tidak perduli
omongan siapa pun! Kamu
adalah adikku apa pun juga!
Kamu adalah adikku
bagaimana pun
penampilanmu..."
Dari sakunya, ia
mengeluarkan sebuah jepit
rambut berbentuk kupu-
kupu. Ia memakaikannya
kepadaku, dan terus
menjelaskan, "Saya melihat
semua gadis kota
memakainya. Jadi saya pikir
kamu juga harus memiliki
satu." Aku tidak dapat
menahan diri lebih lama
lagi. Aku menarik adikku ke
dalam pelukanku dan
menangis dan menangis.
Tahun itu, ia berusia 20. Aku
23.
Kali pertama aku membawa
pacarku ke rumah, kaca
jendela yang pecah telah
diganti, dan kelihatan bersih
di mana-mana. Setelah
pacarku pulang, aku menari
seperti gadis kecil di depan
ibuku. "Bu, ibu tidak perlu
menghabiskan begitu
banyak waktu untuk
membersihkan rumah kita!"
Tetapi katanya, sambil
tersenyum, "Itu adalah
adikmu yang pulang awal
untuk membersihkan rumah
ini. Tidakkah kamu melihat
luka pada tangannya? Ia
terluka ketika memasang
kaca jendela baru itu.."
Aku masuk ke dalam
ruangan kecil adikku.
Melihat mukanya yang
kurus, seratus jarum terasa
menusukku. Aku
mengoleskan sedikit saleb
pada lukanya dan mebalut
lukanya. "Apakah itu sakit?"
Aku menanyakannya.
"Tidak, tidak sakit. Kamu
tahu, ketika saya bekerja di
lokasi konstruksi, batu-batu
berjatuhan pada kakiku
setiap waktu. Bahkan itu
tidak menghentikanku
bekerja dan..." Ditengah
kalimat itu ia berhenti. Aku
membalikkan tubuhku
memunggunginya, dan air
mata mengalir deras turun
ke wajahku. Tahun itu,
adikku 23. Aku berusia 26.
Ketika aku menikah, aku
tinggal di kota. Banyak kali
suamiku dan aku
mengundang orang tuaku
untuk datang dan tinggal
bersama kami, tetapi
mereka tidak pernah mau.
Mereka mengatakan, sekali
meninggalkan dusun,
mereka tidak akan tahu
harus mengerjakan apa.
Adikku tidak setuju juga,
mengatakan, "Kak, jagalah
mertuamu aja. Saya akan
menjaga ibu dan ayah di
sini."
Suamiku menjadi direktur
pabriknya. Kami
menginginkan adikku
mendapatkan pekerjaan
sebagai manajer pada
departemen pemeliharaan.
Tetapi adikku menolak
tawaran tersebut. Ia
bersikeras memulai bekerja
sebagai pekerja reparasi.
Suatu hari, adikku diatas
sebuah tangga untuk
memperbaiki sebuah kabel,
ketika ia mendapat
sengatan listrik, dan masuk
rumah sakit. Suamiku dan
aku pergi menjenguknya.
Melihat gips putih pada
kakinya, saya menggerutu,
"Mengapa kamu menolak
menjadi manajer? Manajer
tidak akan pernah harus
melakukan sesuatu yang
berbahaya seperti ini. Lihat
kamu sekarang, luka yang
begitu serius. Mengapa
kamu tidak mau mendengar
kami sebelumnya?"
Dengan tampang yang serius
pada wajahnya, ia membela
keputusannya. "Pikirkan
kakak ipar--ia baru saja jadi
direktur, dan saya hampir
tidak berpendidikan. Jika
saya menjadi manajer
seperti itu, berita seperti
apa yang akan dikirimkan?"
Mata suamiku dipenuhi air
mata, dan kemudian keluar
kata-kataku yang sepatah-
sepatah: "Tapi kamu kurang
pendidikan juga karena
aku!" "Mengapa
membicarakan masa lalu?"
Adikku menggenggam
tanganku. Tahun itu, ia
berusia 26 dan aku 29.
Adikku kemudian berusia 30
ketika ia menikahi seorang
gadis petani dari dusun itu.
Dalam acara pernikahannya,
pembawa acara perayaan
itu bertanya kepadanya,
"Siapa yang paling kamu
hormati dan kasihi?" Tanpa
bahkan berpikir ia
menjawab, "Kakakku."
Ia melanjutkan dengan
menceritakan kembali
sebuah kisah yang bahkan
tidak dapat kuingat. "Ketika
saya pergi sekolah SD, ia
berada pada dusun yang
berbeda. Setiap hari
kakakku dan saya berjalan
selama dua jam untuk pergi
ke sekolah dan pulang ke
rumah. Suatu hari, Saya
kehilangan satu dari sarung
tanganku. Kakakku
memberikan satu dari
kepunyaannya. Ia hanya
memakai satu saja dan
berjalan sejauh itu. Ketika
kami tiba di rumah,
tangannya begitu gemetaran
karena cuaca yang begitu
dingin sampai ia tidak dapat
memegang sumpitnya. Sejak
hari itu, saya bersumpah,
selama saya masih hidup,
saya akan menjaga kakakku
dan baik kepadanya."
Tepuk tangan membanjiri
ruangan itu. Semua tamu
memalingkan perhatiannya
kepadaku. Kata-kata begitu
susah kuucapkan keluar
bibirku, "Dalam hidupku,
orang yang paling aku
berterima kasih adalah
adikku." Dan dalam
kesempatan yang paling
berbahagia ini, di depan
kerumunan perayaan ini, air
mata bercucuran turun dari
wajahku seperti sungai.
[Diterjemahkan dari "I cried
for my brother six times"]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar