Cari Blog Ini

Jumat, 19 Februari 2010

Kebohongan dan kasih sayang ibu

Cerita bermula ketika aku
masih kecil, aku terlahir
sebagai seorang anak laki-laki
di sebuah keluarga yang
miskin. Bahkan untuk makan
saja, seringkali kekurangan.
Ketika makan, ibu sering
memberikan porsi nasinya
untukku. Sambil memindahkan
nasi ke mangkukku, ibu
berkata:
"Makanlah nak, Ibu tidak
lapar" ----------KEBOHONGAN
IBU YANG PERTAMA
Ketika aku mulai tumbuh
dewasa, ibu yang gigih sering
meluangkan waktu
senggangnya untuk pergi
memancing di kolam dekat
rumah, ibu berharap dari ikan
hasil pancingan, ia bisa
memberikan sedikit makanan
bergizi untuk petumbuhan.
Sepulang memancing, ibu
memasak sup ikan yang segar
dan mengundang selera.
Sewaktu aku memakan sup
ikan itu, Ibu duduk
disampingku dan memakan
sisa daging ikan yang masih
menempel di tulang yang
merupakan bekas sisa tulang
ikan yang aku makan. Aku
melihat ibu seperti itu, hati
juga tersentuh, lalu
menggunakan sumpitku dan
memberikannya kepada ibuku.
Tetapi ibu dengan cepat
menolaknya, ia berkata:
"Makanlah Nak, Ibu tidak
suka makan ikan" ----------
KEBOHONGAN IBU YANG
KEDUA
Sekarang aku sudah masuk
SMP, demi membiayai sekolah
kakakku, ibu pergi ke
koperasi untuk membawa
sejumlah kotak korek api
untuk ditempel. Dari hasil
tempelannya itu membuahkan
sedikit uang untuk menutupi
kebutuhan hidup. Di kala
musim dingin tiba, aku bangun
dari tempat tidurku, melihat
ibu masih bertumpu pada lilin
kecil dan dengan gigihnya
melanjutkan pekerjaannya
menempel kotak korek api.
Aku berkata :"Ibu tidurlah,
sudah malam, besok pagi ibu
masih harus kerja." Ibu
tersenyum dan berkata:
"Cepatlah tidur nak, Ibu tidak
Capek" ---------- KEBOHONGAN
IBU YANG KETIGA
Ketika ujian tiba, ibu meminta
cuti kerja supaya dapat
menemaniku pergi ujian.
Ketika hari sudah siang, terik
matahari mulai menyinari, Ibu
yang tegar dan gigih
menungguku di bawah terik
matahari selama beberapa
jam. Ketika bunyi lonceng
berbunyi, menandakan ujian
sudah selesai. Ibu dengan
segera menyambutku dan
menuangkan teh yang sudah
disiapkan dalam botol yang
dingin untukku. Teh yang
begitu kental tidak dapat
dibandingkan dengan kasih
sayang yang jauh lebih kental.
Melihat ibu yang dibanjiri
peluh, aku segera
memberikan gelasku untuk
Ibu sambil menyuruhnya
minum. Ibu berkata:
"Minumlah nak, Ibu tidak
haus!" ---------- KEBOHONGAN
IBU YANG KEEMPAT
Setelah kepergian ayah
karena sakit, ibu yang malang
harus merangkap Sebagai
ayah dan ibu. Dengan
berpegang pada pekerjaan dia
yang dulu, Dia harus
membiayai kebutuhan hidup
sendiri. Kehidupan keluarga
kami pun semakin susah dan
susah. Tiada hari tanpa
penderitaan. Melihat Kondisi
keluarga yang semakin parah,
Ada seorang paman yang baik
hati yang tinggal di dekat
rumahku pun membantu ibuku
baik masalah besar maupun
masalah kecil. Tetangga yang
ada di sebelah rumah melihat
kehidupan kita yang begitu
sengsara, seringkali
menasehati ibuku untuk
Menikah lagi. Tetapi ibu yang
memang keras kepala tidak
mengindahkan nasehat
mereka, Ibu berkata:
"Saya tidak butuh cinta"
---------- KEBOHONGAN IBU
YANG KELIMA
Setelah aku dan kakakku
semuanya bekerja, ibu yang
sudah tua sudah waktunya
pensiun. Tetapi ibu tidak mau ,
Ia rela untuk pergi ke pasar
setiap pagi untuk jualan
sedikit sayur untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Kakakku
yang bekerja di luar kota
sering mengirimkan sedikit
uang untuk membantu
memenuhi kebutuhan ibu,
tetapi ibu bersikukuh tidak
mau menerima uang Tersebut.
Malahan mengirim balik uang
tersebut. Ibu berkata:
"Ibu masih punya uang"
---------- KEBOHONGAN IBU
YANG KEENAM
Setelah lulus dari S1, aku pun
melanjutkan studi ke S2 dan
kemudian Memperoleh gelar
master di sebuah universitas
ternama di Amerika. Berkat
sebuah beasiswa di sebuah
perusahaan. Akhirnya aku pun
bekerja di perusahaan itu.
Dengan gaji yang lumayan
tinggi, aku bermaksud
membawa ibuku untuk
menikmati hidup di Amerika.
Tetapi ibu yang baik hati,
bermaksud tidak mau
merepotkan anaknya, Ibu
berkata kepadaku
"Ibu tidak terbiasa" ----------
KEBOHONGAN IBU YANG
KETUJUH
Setelah memasuki usianya
yang tua, ibu terkena penyakit
Kanker Lambung, harus
dirawat di rumah sakit, aku
yang berada jauh di seberang
Samudera Atlantik langsung
segera pulang untuk
menjenguk Ibunda tercinta.
Aku melihat ibu yang
terbaring lemah di ranjangnya
Setelah menjalani operasi. Ibu
yang keliatan sangat tua,
menatap aku dengan penuh
kerinduan. Walaupun senyum
yang tersebar di wajahnya
terkesan agak kaku karena
sakit yang ditahannya.
Terlihat dengan jelas betapa
penyakit itu menggerogoti
tubuh ibuku sehingga ibuku
terlihat lemah dan kurus
kering. Aku sambil menatap
ibuku sambil berlinang air
mata. Hatiku perih, sakit
sekali melihat ibuku dalam
kondisi seperti Ini. Tetapi ibu
dengan tegarnya berkata:
"Jangan menangis anakku, Ibu
tidak sakit" ----------
KEBOHONGAN IBU YANG
KEDELAPAN.
Setelah mengucapkan
kebohongannya yang
kedelapan, ibuku tercinta
menutup matanya untuk yang
terakhir kalinya.
Dari cerita di atas, saya
percaya teman-teman
sekalian pasti merasa
tersentuh dan ingin sekali
mengucapkan : "Terima kasih
Ibu"
Coba dipikir-pikir, sudah
berapa lamakah kita tidak
menelepon ayah ibu kita?
Sudah berapa lamakah kita
tidak menghabiskan waktu
kita untuk berbincang dengan
ayah ibu kita?
Di tengah-tengah aktivitas kita
yang padat ini, kita selalu
mempunyai beribu-ribu alasan
untuk meninggalkan ayah ibu
kita yang kesepian.
Kita selalu lupa akan ayah
dan ibu yang ada di rumah.
Jika dibandingkan dengan
pacar kita, kita pasti lebih
peduli dengan pacar kita.
Buktinya, kita selalu cemas
akan kabar pacar kita, cemas
apakah dia sudah makan atau
belum, cemas apakah dia
bahagia bila di samping kita.
Namun, apakah kita semua
pernah mencemaskan kabar
dari ortu kita?
Cemas apakah ortu kita sudah
makan atau belum?
Cemas apakah ortu kita sudah
bahagia atau belum?
Apakah ini benar?
Kalau ya, coba kita renungkan
kembali lagi..
Di waktu kita masih
mempunyai kesempatan untuk
membalas budi ortu kita,
lakukanlah yang terbaik.
Jangan sampai ada kata
"MENYESAL" di kemudian
hari.

Kamis, 18 Februari 2010

Hukum sebab akibat

Nasrudin sedang berjalan-
jalan dengan santai, ketika
tanpa permisi ada orang jatuh
dari atap rumah dan
menimpanya. Orang yang
terjatuh itu tidak terluka sama
sekali, tetapi Nasrudin yang
tertimpa malah menderita
cedera leher. Ia pun diangkut
ke rumah sakit.
Para tetangganya datang
menjenguknya, mereka
bertanya, “Hikmah apa yang
didapat dari peristiwa itu,
Nasrudin ?”
“Jangan percaya lagi pada
hukum sebab akibat,”
jawabnya. “Orang lain yang
jatuh dari atap rumah, tetapi
leherku yang jadi korbannya.
Jadi tidak berlaku lagi logika,
‘ Kalau orang jatuh dari atap
rumah, lehernya akan patah!’”

Hukum sebab akibat


Nasrudin sedang berjalan-
jalan dengan santai, ketika
tanpa permisi ada orang jatuh
dari atap rumah dan
menimpanya. Orang yang
terjatuh itu tidak terluka sama
sekali, tetapi Nasrudin yang
tertimpa malah menderita
cedera leher. Ia pun diangkut
ke rumah sakit.
Para tetangganya datang
menjenguknya, mereka
bertanya, “Hikmah apa yang
didapat dari peristiwa itu,
Nasrudin ?”
“Jangan percaya lagi pada
hukum sebab akibat,”
jawabnya. “Orang lain yang
jatuh dari atap rumah, tetapi
leherku yang jadi korbannya.
Jadi tidak berlaku lagi logika,
‘ Kalau orang jatuh dari atap
rumah, lehernya akan patah!’”

Siapa yang gila??

Abu Nawas belum kembali.
Kata istrinya ia bersama
seorang Pendeta dan seorang
Ahli Yoga sedang melakukan
pengembaraan suci. Padahal
saat ini Baginda amat
membutuhkan bantuan Abu
Nawas. Beberapa hari
terakhir ini Baginda
merencanakan membangun
istana di awang-awang.
Karena sebagian dari raja-raja
negeri sahabat telah
membangun bangunan-
bangunan yang luar biasa.
Baginda tidak ingin menunggu
Abu Nawas lebih lama lagi.
Beliau mengutus beberapa
orang kepercayaanya untuk
mencari Abu Nawas. Mereka
tidak berhasil menemukan
Abu Nawas kerena Abu Nawas
temyata sudah berada di
rumah ketika mereka baru
berangkat.
Abu Nawas menghadap
Baginda Raja Harun Al Rasyid.
Baginda amat riang. Saking
gembiranya beliau mengajak
Abu Nawas bergurau. Setelah
saling tukar menukar cerita-
cerita lucu, lalu Baginda mulai
mengutarakan rencananya.
“Aku sangat ingin membangun
istana di awang-awang agar
aku lebih terkenal di antara
raja-raja yang lain. Adakah
kemungkinan keinginanku itu
terwujud, wahai Abu Nawas ?”
“Tidak ada yang tidak
mungkin diiakukan di dunia ini
Paduka yang mulia. ” kata Abu
Nawas berusaha mengikuti
arah pembicaraan Baginda.
“ Kalau menurut pendapatmu
hal itu tidak mustahil
diwujudkan maka aku
serahkan sepenuhnya tugas ini
kepadamu. ” kata Baginda
puas.
Abu Nawas terperanjat. Ia
menyesal telah mengatakan
kemungkinan mewujudkan
istana di awang-awang. Tetapi
nasi telah menjadi bubur.
Kata-kata yang telah terlanjur
didengar oleh Baginda tidak
mungkin ditarik kembali.
Baginda memberi waktu Abu
Nawas beberapa minggu.
Rasanya tak ada yang lebih
berat bagi Abu Nawas kecuali
tugas yang diembannya
sekarang. Jangankan
membangun istana di langit,
membangun sebuah gubuk
kecil pun sudah merupakan
hal yang mustahil dikerjakan.
Hanya Tuhan saja yang
mampu melakukannya. Begitu
gumam Abu Nawas. Hari-hari
berlalu seperti biasa. Tak ada
yang dikerjakan Abu Nawas
kecuali memikirkan
bagaimana membuat Baginda
merasa yakin kalau yang
dibangun itu benar-benar
istana di langit. Seluruh
ingatannya dikerahkan dan
dihubung-hubungkan. Abu
Nawas bahkan berusaha
menjangkau masa kanak-
kanaknya. Sampai ia ingat
bahwa dulu ia pemah bermain
layang-layang. Dan inilah yang
membuat Abu Nawas girang.
Abu Nawas tidak menyia-
nyiakan waktu lagi. Ia
bersama beberapa kawannya
merancang layang-layang
raksasa berbentuk persegi
empat. Setelah rampung baru
Abu Nawas melukis pintu-
pintu serta jendela-jendela
dan ornamen-omamen
lainnya. Ketika semuanya
selesai Abu Nawas dan kawan-
kawannya menerbangkan
layang-layang raksasa itu dari
suatu tempat yang
dirahasiakan.
Begitu layang-layang raksasa
berbentuk istana itu
mengapung di angkasa,
penduduk negeri gempar.
Baginda Raja girang bukan
kepalang. Benarkah Abu
Nawas berhasil membangun
istana di langit? Dengan tidak
sabar beliau didampingi
beberapa orang pengawal
bergegas menemui Abu
Nawas. Abu Nawas berkata
dengan bangga.
“Paduka yang mulia, istana
pesanan Paduka telah
rampung. ”
“Engkau benar-benar hebat
wahai Abu Nawas.” kata
Baginda memuji Abu Nawas.
“ Terima kasih Baginda yang
mulia.” kata Abu Nawas.
“Lalu bagaimana caranya aku
ke sana?” tanya Baginda.
“Dengan tambang, Paduka
yang mulia.” kata Abu Nawas.
“Kalau begitu siapkan
tambang itu sekarang. Aku
ingin segera melihat istanaku
dari dekat. ” kata Baginda
tidak sabar.
“ Maafkan hamba Paduka yang
mulia. Hamba kemarin lupa
memasang tambang itu.
Sehingga seorang kawan
hamba tertinggal di sana dan
tidak bisa turun. ” kata Abu
Nawas.
“ Bagaimana dengan engkau
sendiri Abu Nawas? Dengan
apa engkau turun ke bumi ?”
tanya Baginda.
“ Dengan menggunakan sayap
Paduka yang mulia.” kata Abu
Nawas dengan bangga.
“ Kalau begitu buatkan aku
sayap supaya aku bisa,terbang
ke sana. ” kata Baginda.
“Paduka yang mulia, sayap itu
hanya bisa diciptakan dalam
mimpi. ” kata Abu Nawas
menjelaskan.
“Engkau berani mengatakan
aku gila sepertimu?” tanya
Baginda sambil melotot. “Ya,
Baginda. Kurang lebih seperti
itu. ” jawab Abu Nawas
tangkas.
“Apa maksudmu?” tanya
Baginda lagi. “Baginda tahu
bahwa. membangun istana di
awang-awang.adalah
pekerjaan yang mustahil
dilaksanakan. Tetapi Baginda
tetap menyuruh hamba
mengerjkannya, sedangkan
hamba tahu bahwa pekerjaan
itu mustahil dikerjakan. Tetapi
hamba tetap menyanggupi
titah Baginda yang tidak
masuk akal itu. ” kata Abu
Nawas berusaha meyakinkan
Baginda.
Tanpa menoleh Baginda Raja
kembali ke istana diiring para
pengawalnya. Abu Nawas
berdiri sendirian sambil
memandang ke atas melihat
istana terapung di awang-
awang.
“Sebenarnya siapa diantara
kita yang gila?” tanya Baginda
mulai jengkel. “Hamba kira
kita berdua sama-sama tidak
waras Tuanku. ” jawab Abu
Nawas tanpa ragu.

Menipu gajah

Abu Nawas sedang berjalan-
jalan santai. Ada kerumunan
masa. Abu Nawas bertanya
kepada seorang kawan yang
kebetulan berjumpa di tengah
jalan.
“Ada kerumunan apa di
sana?” tanya Abu Nawas.
“Pertunjukkan keliling yang
melibatkan gajah ajaib.”
“Apa-maksudmu dengan gajah
ajaib?” Kata Abu Nawas ingin
tahu.
“ Gajah yang bisa mengerti
bahasa manusia,dan yang
lebih menakjubkan adalah
gajah itu hanya mau tunduk
kepada pemiliknya saja. ” kata
kawan Abu Nawas
menambahkan.
Abu Nawas makin tertarik. Ia
tidak tahan untuk
menyaksikan kecerdikan dan
keajaiban binatang raksasa
itu. Kini Abu Nawas sudah
berada di tengah kerumunan
para penonton. Karena begitu
banyak penonton yang
menyaksikan pertunjukkan itu,
sang pemilik gajah dengan
bangga menawarkan hadiah
yang cukup besar bagi siapa
saja yang sanggup membuat
gajah itu mengangguk-angguk.
Tidak heran bila banyak
diantara para penonton
mencoba maju satu persatu.
Mereka berupaya dengan
beragam cara untuk membuat
gajah itu mengangguk-angguk,
tetapi sia-sia.
Gajah itu tetap menggeleng-
gelengkan kepala. Melihat
kegigihan gajah itu Abu Nawas
semakin penasaran. Hingga ia
maju untuk mencoba. Setelah
berhadapan dengan binatang
itu Abu Nawas bertanya,
“ Tahukah engkau siapa aku?”
Gajah itu menggeleng.
“ Apakah engkau tidak takut
kepadaku?” tanya Abu Nawas
lagi. Namun gajah itu tetap
menggeleng. “Apakah engkau
takut kepada tuanmu?” tanya
Abu Nawas memancing. Gajah
itu mulai ragu.
“Bila engkau tetap diam maka
akan aku laporkan kepada
tuanmu. ” lanjut Abu Nawas
mulai mengancam. Akhirnya
gajah itu terpaksa
mengangguk-angguk. Atas
keberhasilan Abu Nawas
membuat gajah itu
mengangguk-angguk maka ia
mendapat hadiah berupa uang
yang banyak. Bukan main
marah pemilik gajah itu
hingga ia memukuli binatang
yang malang itu. Pemilik gajah
itu malu bukan kepalang. Hari
berikutnya ia ingin menebus
kekalahannya. Kali ini ia
melatih gajahnya
mengangguk-angguk. Bahkan
ia mengancam akan
menghukum berat gajahnya
bila sampai bisa dipancing
penonton mengangguk-agguk
terutama oleh Abu Nawas.
Tak peduli apapun pertanyaan
yang diajukan. Saat-saat yang
dinantikan tiba.
Kini para penonton yang ingin
mecoba, harus sanggup
membuat gajah itu
menggeleng-gelengkan
kepala. Maka seperti hari
sebelumnya, para penonton
tidak tidak sanggup memaksa
gajah itu menggeleng-
gelengkan kepala. Setelah
tidak ada lagi yang
mencobanya, Abu Nawas
maju, ia mengulang
pertanyaan yang sama.
“Tahukah engkau siapa aku?”
Gajah itu mengangguk.
“ Apa.kah engkau tidak takut
kepadaku?” Gajah itu tetap
mengangguk. “Apakah engkau
tidak takut kepada tuanmu?”
pancing Abu Nawas. Gajah itu
tetap mengangguk karena
binatang itu lebih takut
terhadap ancaman tuannya
daripada Abu Nawas.
Akhirnya Abu Nawas
mengeluarkan bungkusan
kecil berisi balsam panas.
“Tahukah engkau apa guna
balsam ini?” Gajah itu tetap
mengangguk, “Baiklah,
bolehkah kugosok
selangkangmu dengan
balsam ?” Gajah itu
mengangguk.
Lalu Abu Nawas menggosok
selangkang binatang itu.
Tentu saja gajah itu merasa
agak kepanasan dan mulai
panik. Kemudian Abu Nawas
mengeluarkan bungkusan
yang cukup besar. Bungkusan
itu juga berisi balsam.
“ Maukah engkau bila balsam
ini kuhabiskan untuk
menggosok selangkangmu?”
Abu Nawas mulai
mengancam.
Gajah itu mulai ketakutan.
Dan rupanya ia lupa ancaman
tuannya sehingga ia terpaksa
menggeleng-gelengkan kepala
sambil mundur beberapa
langkah. Abu Nawas dengan
kecerdikan dan akalnya yang
licin mampu memenangkan
sayembara meruntuhkan
kegigihan gajah yang dianggap
cerdik. Ah, jangankan seekor
gajah, manusia paling pandai
saja bisa dikecoh Abu Nawas!

Menghukum karena mimpi

Pada suatu sore, ketika Abu
Nawas sedang mengajar
murid-muridnya, ada dua
orang tamu datang ke
rumahnya. Yang seorang
adalah wanita tua penjual
kahwa, sedang satunya lagi
adalah seorang pemuda
berkebangsaan Mesir.
Wanita tua itu berkata
beberapa patah kata
kemudian diteruskan dengan
si pemuda Mesir. Setelah
mendengar pengaduan
mereka, Abu Nawas
menyuruh murid-muridnya
menutup kitab mereka.
“ Sekarang pulanglah kalian.
Ajak teman-teman kalian
datang kepadaku pada malam
hari ini sambil membawa
cangkul, penggali, kapak dan
martil serta batu. ”
Murid-murid Abu Nawas
merasa heran, namun mereka
begitu patuh kepada Abu
Nawas. Dan mereka merasa
yakin gurunya selalu berada
membuat kejutan dan berada
di pihak yang benar. Pada
malam harinya mereka
datang ke rumah Abu Nawas
dengan membawa peralatan
yang diminta oleh Abu Nawas.
Berkata Abu Nawas, “Hai
kalian semua! Pergilah malam
hari ini untuk merusak rumah
Tuan Kadi yang baru jadi. ”
“Hah? Merusak rumah Tuan
Kadi?” gumam semua
muridnya keheranan. “Apa?
Kalian jangan ragu.
Laksanakan saja perintah
gurumu ini !” kata Abu Nawas
menghapus keraguan murid-
muridnya.
“Barang siapa yang
mencegahmu, jangan kau
perdulikan, terus pecahkan
saja rumah Tuan Kadi yang
baru. Siapa yang bertanya,
katakan saja aku yang
menyuruh merusak. Barang
siapa yang hendak melempar
kalian, maka pukullah mereka
dan lemparilah dengan batu. ”
Habis berkata demikian,
murid-murid Abu Nawas
bergerak ke arah Tuan Kadi.
Laksana demonstran mereka
berteriak-teriak
menghancurkan rumah Tuan
Kadi. Orang-orang kampung
merasa heran melihat
kelakukan mereka.
Lebih-lebih ketika tanpa basa-
basi lagi mereka langsung
merusak rumah Tua Kadi.
Orang-orang kampung itu
berusaha mencegah
perbuatan mereka, namun
karena jumlah murid-murid
Abu Nawas terlalu banyak
maka orang-orang kampung
tak berani mencegah. Melihat
banyak orang merusak
rumahnya, Tuan Kadi segera
keluar dan bertanya,
“Siapa yang menyuruh kalian
merusak rumahku?” Murid-
murid itu menjawab, “Guru
kami Tuan Abu Nawas yang
menyuruh kami !”
Habis menjawab begitu
mereka bukannya berhenti
malah terus menghancurkan
rumah Tuan Kadi hingga
rumah itu roboh dan rata
dengan tanah. Tuan Kadi
hanya bisa marah-marah
karena tidak orang yang
berani membelanya, “Dasar
Abu Nawas provokator, orang
gila! Besok pagi aku akan
melaporkannya kepada
Baginda. ”
Benar, esok harinya Tuan Kadi
mengadukan kejadian
semalam sehingga Abu Nawas
dipanggil menghadap Baginda.
Setelah Abu Nawas
menghadap Baginda, ia
ditanya.
“Hai Abu Nawas apa sebabnya
kau merusak rumah Kadi itu.”
Abu Nawas menjawab, “Wahai
Tuanku, sebabnya ialah pada
suatu malam hamba
bermimpi, bahwasanya Tuan
Kadi menyuruh hamba
merusak rumahnya. Sebab
rumah itu tidak cocok
baginya, ia menginginkan
rumah yang lebih bagus Iagi.
Ya, karena mimpi itu maka
hamba merusak rumah Tuan
Kadi. ”
Baginda berkata, “Hai Abu
Nawas, bolehkah hanya
karena mimpi sebuah perintah
dilakukan? Hukum dari negeri
mana yang kau pakai itu ?”
Dengan tenang Abu Nawas
menjawab, “Hamba juga
memakai hukum Tuan Kadi
yang baru ini Tuanku. ”
Mendengar perkataan Abu
Nawas seketika wajah Tuan
Kadi menjadi pucat. Ia terdiam
seribu bahasa. “Hai Kadi
benarkah kau mempunyai
hukum seperti itu ?” tanya
Baginda.
Tapi Tuan Kadi tiada
menjawab, wajahnya nampak
pucat, tubuhnya gemetaran
karena takut. “Abu Nawas!
Jangan membuatku pusing!
Jelaskan kenapa ada peristiwa
seperti ini !” perintah Baginda.
“Baiklah…” Abu Nawas tetap
tenang. “Baginda… beberapa
hari yang lalu ada seorang
pemuda Mesir datang ke
negeri Baghdad ini untuk
berdagang sambil membawa
harta yang banyak sekali.
Pada suatu malam ia
bermimpi kawin dengan anak
Tuan Kadi dengan mahar (mas
kawin) sekian banyak. ini
hanya mimpi Baginda. Tetapi
Tuan Kadi yang mendengar
kabar itu langsung
mendatangi si pemuda Mesir
dan meminta mahar anaknya.
Tentu saja pemuda Mesir itu
tak mau membayar mahar
hanya karena mimpi. Nah, di
sinilah terlihat arogansi Tuan
Kadi, ia ternyata merampas
semua harta benda milik
pemuda Mesir sehingga
pemuda itu menjadi seorang
pengemis gelandangan dan
akhimya ditolong oleh wanita
tua penjual kahwa.”
Baginda terkejut mendengar
penuturan Abu Nawas, tapi
masih belum percaya seratus
persen, maka ia
memerintahkan Abu Nawas
agar memanggil si pemuda
Mesir. Pemuda Mesir itu
memang sengaja disuruh Abu
Nawas menunggu di depan
istana, jadi mudah saja bagi
Abu Nawas memanggil
pemuda itu ke hadapan
Baginda.
Berkata Baginda Raja, “Hai
anak Mesir ceritakanlah hal-
ihwal dirimu sejak engkau
datang ke negeri ini. ”
Ternyata cerita pemuda Mesir
itu sama dengan cerita Abu
Nawas. Bahkan pemuda itu
juga membawa saksi yaitu Pak
Tua pemilik tempat kost dia
menginap.
“Kurang ajar! Ternyata aku
telah mengangkat seorang
Kadi yang bejad moralnya. ”
Baginda sangat murka. Kadi
yang baru itu dipecat dan
seluruh harta bendanya
dirampas dan diberikan
kepada si pemuda Mesir.
Setelah perkara selesai,
kembalilah si pemuda Mesir
itu dengan Abu Nawas pulang
ke rumahnya.
Pemuda Mesir itu hendak
membalas kebaikan Abu
Nawas. Berkata Abu Nawas,
“ Janganlah engkau memberiku
barang sesuatupun kepadaku.
Aku tidak akan menerimanya
sedikitpun jua. ” Pemuda Mesir
itu betul-betul mengagumi
Abu Nawas. Ketika ia kembali
ke negeri Mesir ia
menceritakan tentang
kehebatan Abu Nawas itu
kepada penduduk Mesir
sehingga nama Abu Nawas
menjadi sangat terkenal.

Nasrudin dan tiga orang bijak

Pada suatu hari ada tiga
orang bijak yang pergi
berkeliling negeri untuk
mendapatkan jawaban atas
pertanyaan yang mendesak.
Sampailah mereka pada suatu
hari di desa Nasrudin. Orang-
orang desa ini menyodorkan
Nasrudin sebagai wakil orang-
orang yang bijak di desa
tersebut. Nasrudin dipaksa
berhadapan dengan tiga
orang bijak itu dan di
sekeliling mereka
berkumpullah orang-orang
desa menonton mereka
bicara.
Orang bijak pertama
bertanya kepada Nasrudin,
“ Di mana sebenarnya pusat
bumi ini?”
Nasrudin menjawab, “Tepat di
bawah telapak kaki saya,
saudara. ”
“Bagaimana bisa saudara
buktikan hal itu?” tanya
orang bijak pertama tadi.
“ Kalau tidak percaya,” jawab
Nasrudin, “Ukur saja sendiri.”
Orang bijak yang pertama
diam tak bisa menjawab.
Tiba giliran orang bijak kedua
mengajukan pertanyaan.
“ Berapa banyak jumlah
bintang yang ada di langit?”
Nasrudin menjawab,
“ Bintang-bintang yang ada di
langit itu jumlahnya sama
dengan rambut yang tumbuh
di keledai saya ini. ”
“Bagaimana saudara bisa
membuktikan hal itu?”
Nasrudin menjawab, “Nah,
kalau tidak percaya, hitung
saja rambut yang ada di
keledai itu, dan nanti saudara
akan tahu kebenarannya. ”
“Itu sih bicara goblok-
goblokan,” tanya orang bijak
kedua, “Bagaimana orang
bisa menghitung bulu
keledai. ”
Nasrudin pun menjawab,
“ Nah, kalau saya goblok,
kenapa Anda juga
mengajukan pertanyaan itu,
bagaimana orang bisa
menghitung bintang di
langit ?”
Mendengar jawaban itu, si
bijak kedua itu pun tidak bisa
melanjutkan.
Sekarang tampillah orang
bijak ketiga yang katanya
paling bijak di antara mereka.
Ia agak terganggu oleh
kecerdikan nasrudin dan
dengan ketus bertanya,
“Tampaknya saudara tahu
banyak mengenai keledai,
tapi coba saudara katakan
kepada saya berapa jumlah
bulu yang ada pada ekor
keledai itu. ” “Saya tahu
jumlahnya,” jawab Nasrudin,
“Jumlah bulu yang ada pada
ekor kelesai saya ini sama
dengan jumlah rambut di
janggut Saudara. ”
“Bagaimana Anda bisa
membuktikan hal itu?”
tanyanya lagi. “Oh, kalau
yang itu sih mudah. Begini,
Saudara mencabut selembar
bulu dari ekor keledai saya,
dan kemudian saya mencabut
sehelai rambut dari janggut
saudara. Nah, kalau sama,
maka apa yang saya katakan
itu benar, tetapi kalau tidak,
saya keliru. ”
Tentu saja orang bijak yang
ketiga itu tidak mau
menerima cara menghitung
seperti itu. Dan orang-orang
desa yang mengelilingi
mereka itu semakin yakin
Nasrudin adalah yang terbijak
di antara keempat orang
tersebut.

susu dan garam

Nasrudin dan Ali merasa
haus, mereka pergi ke sebuah
warung untuk minum. Karena
uang mereka hanya cukup
untuk membeli segelas susu
maka Mereka memutuskan
membagi segelas susu untuk
berdua.
Ali : “kamu minum dulu
setengah gelas,Karena aku
hanya punya gula yang hanya
cukup untuk satu orang. Aku
akan menuangkan gula ini ke
dalam susu bagianku. ”
Nasrudin : “Tuangkan saja
sekarang dan aku akan
minum setengahnya. ”
Ali : “Aku tidak mau. Sudah
kukatakan, gula ini hanya
cukup membuat manis
setengah gelas susu ”
akhirnya Nasrudin pergi ke
pemilik warung dan kembali
dengan sekantung garam.
Nasrudin : “Ada berita baik.
Seperti telah kita setujui, aku
akan minum susu ini lebih
dulu. Aku akan minum
bagianku dengan garam ini. ”
Ali : “apa….?”

Jumat, 12 Februari 2010

aku wanita biasa

Aku ini wanita biasa

Bisa sakit luka karena cinta

Dingin sepi kerap menyapa

Air mata jatuh lukisan raga


Kadang ku kuat setegar karang

Kadang ku rapuh lemah liar merana


[chorus1]

Maafkan aku bila hasratku keliru

Sulut gairah jiwamu

Ku yang dosakan cinta kekasih


Maafkan aku bila hasratku keliru

Sulut gairah jiwamu

Ku yang dosakan cinta kekasih hatiku


Kekasih hatiku maafkan aku

Aku wanita biasa


Dingin sepi kerap menyapa

Air mata jatuh lukisan raga


Kadang ku kuat setegar karang

Kadang ku rapuh lemah liar merana


[chorus2]

Maafkan aku bila hasratku keliru

Sulut gairah jiwamu

Ku yang dosakan cinta kekasih


Maafkan aku bila hasratku keliru

Sulut gairah jiwamu

Ku yang dosakan cinta kekasih

Hatiku… maafkan aku..





Lirik Lagu Lirik Lagu Krisdayanti – Aku Wanita Biasa dipersembahkan oleh Menunggu sesuatu yang sangat menyebalkan bagiku

Saatku harus bersabar dan t’rus bersabar menantikan kehadiran dirimu

Entah sampai kapan aku harus menunggu

Sesuatu yang sangat sulit ‘tuk ku jalani

Hidup dalam kesendirian sepi tanpamu

Kadang ku berpikir cari penggantimu

Saat kau jauh di sana


**

Gelisah sesaat saja tiada kabarmu

Ku curiga entah penantianku takkan sia-sia

Dan berikan satu jawaban pasti

Entah sampai kapan aku harus bertahan

Saat kau jauh di sana rasa cemburu

Merasuk ke dalam pikiranku

Melayang tak tentu arah tentang dirimu

Apakah sama yang kau rasakan


***

Walau raga kita terpisah jauh

Namun hati kita selalu dekat

Bila kau rindu pejamkan matamu dan rasakan aaaku

Kekuatan cinta kita takkan pernah rapuh

Terhapus ruang dan waktu

Ku percayakan kesetiaan ini

Pada ketulusan aaa aishiteru


Saatku sendiri pikiran melayang terbang

Perasaan resah gelisah

Jalani kenyataan hidup tanpa gairah

Lupakan segala obsesi dan ambisimu

Akhiri semuanya cukup sampai di sini

Dan buktikan perngorbanan cintamu untukku

Ku mohon kau kembali


Back to **, *** 2x




Lirik Lagu Lirik Lagu Salju – Jembatan Kenangan dipersembahkan oleh AKPC_IDS += "1434,";

Lirik lagu Rossa – Takdir Cinta ini dipersembahkan oleh LirikLaguIndonesia.Net. Kunjungi DownloadLaguIndonesia.Net untuk download MP3 Rossa – Takdir Cinta.

KISAH SEORANG AYAH DAN ANAK GADISNYA

"Kisah Seorang Ayah dengan
Anak Gadisnya"
Kisah ini terjadi disuatu pagi
yang cerah, yaa..
mungkin tidak begitu cerah
untuk seorang ayah yang
kebetulan memeriksa kamar
putri nya...
Dia mendapati kamar itu
sudah rapi, dengan
selembar amplop
bertuliskan untuk ayah
diatas kasurnya..
perlahan dia mulai
membuka surat itu...
--
Ayah tercinta.....
Aku menulis surat ini
dengan perasaan sedih dan
sangat menyesal.
Saat ayah membaca surat
ini, aku telah pergi
meninggalkan rumah.
Aku pergi bersama
kekasihku, dia cowok yang
baik, setelah bertemu dia..
ayah juga pasti akan setuju
meski dengan tatto2 dan
piercing yang melekat
ditubuhnya, juga dengan
motor bututnya serta
rambut gondrongnya.
Dia sudah cukup dewasa
meskipun belum begitu tua
(aku pikir jaman sekarang
42 tahun tidaklah terlalu
tua).
Dia sangat baik terhadapku,
lebih lagi dia ayah dari
anak di kandunganku saat
ini.
Dia memintaku untuk
membiarkan anak ini lahir
dan kita akan
membesarkannya bersama.
Kami akan tinggal
berpindah-pindah, dia punya
bisnis
perdagangan extacy yang
sangat luas, dia juga telah
meyakinkanku bahwa
********* itu tidak begitu
buruk. Kami akan tinggal
bersama sampai maut
memisahkan kami. Para ahli
pengobatan pasti akan
menemukan obat
untuk AIDS jadi dia bisa
segera sembuh.
Aku tahu dia juga punya
cewek lain tapi aku percaya
dia
akan setia padaku dengan
cara yang berbeda.
Ayah.. jangan khawatirkan
keadaanku. Aku sudah 15
tahun sekarang, aku bisa
menjaga diriku.
Salam sayang untuk kalian
semua.
Oh iya, berikan bonekaku
untuk adik, dia sangat
menginginkannya.
----
Masih dengan perasaan
terguncang dan tangan
gemetaran,
sang ayah membaca
lembar kedua surat dari
putri tercintanya itu...
ps: Ayah, .. tidak ada
satupun dari yang aku tulis
diatas itu benar,
aku hanya ingin
menunjukkan ada ribuan hal
yg lebih
mengerikan daripada nilai
rapotku yg buruk.
Kalau ayah sudah
menandatangani rapotku
diatas meja, panggil aku
ya...
Aku tidak kemana2 saat ini
aku ada di tetangga
sebelah.
--------------------Gimana ya
kira-kira perasaan si
Ayah???
Sumber : http://
qudrat.multiply.com/

AKU MENANGIS UNTUK ADIKKU ENAM KALI

"Aku Menangis untuk
Adikku Enam Kali"
Aku dilahirkan di sebuah
dusun pegunungan yang
sangat terpencil. Hari demi
hari, orang tuaku membajak
tanah kering kuning, dan
punggung mereka
menghadap ke langit. Aku
mempunyai seorang adik,
tiga tahun lebih muda
dariku.
Suatu ketika, untuk membeli
sebuah sapu tangan yang
mana semua gadis di
sekelilingku kelihatannya
membawanya, Aku mencuri
lima puluh sen dari laci
ayahku. Ayah segera
menyadarinya. Beliau
membuat adikku dan aku
berlutut di depan tembok,
dengan sebuah tongkat
bambu di tangannya. "Siapa
yang mencuri uang itu?"
Beliau bertanya. Aku
terpaku, terlalu takut untuk
berbicara. Ayah tidak
mendengar siapa pun
mengaku, jadi Beliau
mengatakan, "Baiklah,
kalau begitu, kalian berdua
layak dipukul!" Dia
mengangkat tongkat bambu
itu tingi-tinggi. Tiba-tiba,
adikku mencengkeram
tangannya dan berkata,
"Ayah, aku yang
melakukannya!"
Tongkat panjang itu
menghantam punggung
adikku bertubi-tubi. Ayah
begitu marahnya sehingga ia
terus menerus
mencambukinya sampai
Beliau kehabisan nafas.
Sesudahnya, Beliau duduk di
atas ranjang batu bata kami
dan memarahi, "Kamu
sudah belajar mencuri dari
rumah sekarang, hal
memalukan apa lagi yang
akan kamu lakukan di masa
mendatang? ... Kamu layak
dipukul sampai mati! Kamu
pencuri tidak tahu malu!"
Malam itu, ibu dan aku
memeluk adikku dalam
pelukan kami. Tubuhnya
penuh dengan luka, tetapi ia
tidak menitikkan air mata
setetes pun. Di pertengahan
malam itu, saya tiba-tiba
mulai menangis meraung-
raung. Adikku menutup
mulutku dengan tangan
kecilnya dan berkata, "Kak,
jangan menangis lagi
sekarang. Semuanya sudah
terjadi."
Aku masih selalu membenci
diriku karena tidak memiliki
cukup keberanian untuk
maju mengaku. Bertahun-
tahun telah lewat, tapi
insiden tersebut masih
kelihatan seperti baru
kemarin. Aku tidak pernah
akan lupa tampang adikku
ketika ia melindungiku.
Waktu itu, adikku berusia 8
tahun. Aku berusia 11.
Ketika adikku berada pada
tahun terakhirnya di SMP, ia
lulus untuk masuk ke SMA di
pusat kabupaten. Pada saat
yang sama, saya diterima
untuk masuk ke sebuah
universitas propinsi. Malam
itu, ayah berjongkok di
halaman, menghisap rokok
tembakaunya, bungkus demi
bungkus. Saya
mendengarnya
memberengut, "Kedua anak
kita memberikan hasil yang
begitu baik...hasil yang
begitu baik..." Ibu mengusap
air matanya yang mengalir
dan menghela nafas, "Apa
gunanya? Bagaimana
mungkin kita bisa
membiayai keduanya
sekaligus?"
Saat itu juga, adikku
berjalan keluar ke hadapan
ayah dan berkata, "Ayah,
saya tidak mau melanjutkan
sekolah lagi, telah cukup
membaca banyak buku."
Ayah mengayunkan
tangannya dan memukul
adikku pada wajahnya.
"Mengapa kau mempunyai
jiwa yang begitu keparat
lemahnya? Bahkan jika
berarti saya mesti mengemis
di jalanan saya akan
menyekolahkan kamu
berdua sampai selesai!"
Dan begitu kemudian ia
mengetuk setiap rumah di
dusun itu untuk meminjam
uang. Aku menjulurkan
tanganku selembut yang aku
bisa ke muka adikku yang
membengkak, dan berkata,
"Seorang anak laki-laki
harus meneruskan
sekolahnya; kalau tidak ia
tidak akan pernah
meninggalkan jurang
kemiskinan ini." Aku,
sebaliknya, telah
memutuskan untuk tidak
lagi meneruskan ke
universitas.
Siapa sangka keesokan
harinya, sebelum subuh
datang, adikku
meninggalkan rumah
dengan beberapa helai
pakaian lusuh dan sedikit
kacang yang sudah
mengering. Dia menyelinap
ke samping ranjangku dan
meninggalkan secarik kertas
di atas bantalku: "Kak,
masuk ke universitas
tidaklah mudah. Saya akan
pergi mencari kerja dan
mengirimu uang."
Aku memegang kertas
tersebut di atas tempat
tidurku, dan menangis
dengan air mata bercucuran
sampai suaraku hilang.
Tahun itu, adikku berusia 17
tahun. Aku 20.
Dengan uang yang ayahku
pinjam dari seluruh dusun,
dan uang yang adikku
hasilkan dari mengangkut
semen pada punggungnya di
lokasi konstruksi, aku
akhirnya sampai ke tahun
ketiga (di universitas). Suatu
hari, aku sedang belajar di
kamarku, ketika teman
sekamarku masuk dan
memberitahukan, "Ada
seorang penduduk dusun
menunggumu di luar sana!"
Mengapa ada seorang
penduduk dusun mencariku?
Aku berjalan keluar, dan
melihat adikku dari jauh,
seluruh badannya kotor
tertutup debu semen dan
pasir. Aku menanyakannya,
"Mengapa kamu tidak bilang
pada teman sekamarku
kamu adalah adikku?" Dia
menjawab, tersenyum,
"Lihat bagaimana
penampilanku. Apa yang
akan mereka pikir jika
mereka tahu saya adalah
adikmu? Apa mereka tidak
akan menertawakanmu?"
Aku merasa terenyuh, dan
air mata memenuhi mataku.
Aku menyapu debu-debu
dari adikku semuanya, dan
tersekat-sekat dalam kata-
kataku, "Aku tidak perduli
omongan siapa pun! Kamu
adalah adikku apa pun juga!
Kamu adalah adikku
bagaimana pun
penampilanmu..."
Dari sakunya, ia
mengeluarkan sebuah jepit
rambut berbentuk kupu-
kupu. Ia memakaikannya
kepadaku, dan terus
menjelaskan, "Saya melihat
semua gadis kota
memakainya. Jadi saya pikir
kamu juga harus memiliki
satu." Aku tidak dapat
menahan diri lebih lama
lagi. Aku menarik adikku ke
dalam pelukanku dan
menangis dan menangis.
Tahun itu, ia berusia 20. Aku
23.
Kali pertama aku membawa
pacarku ke rumah, kaca
jendela yang pecah telah
diganti, dan kelihatan bersih
di mana-mana. Setelah
pacarku pulang, aku menari
seperti gadis kecil di depan
ibuku. "Bu, ibu tidak perlu
menghabiskan begitu
banyak waktu untuk
membersihkan rumah kita!"
Tetapi katanya, sambil
tersenyum, "Itu adalah
adikmu yang pulang awal
untuk membersihkan rumah
ini. Tidakkah kamu melihat
luka pada tangannya? Ia
terluka ketika memasang
kaca jendela baru itu.."
Aku masuk ke dalam
ruangan kecil adikku.
Melihat mukanya yang
kurus, seratus jarum terasa
menusukku. Aku
mengoleskan sedikit saleb
pada lukanya dan mebalut
lukanya. "Apakah itu sakit?"
Aku menanyakannya.
"Tidak, tidak sakit. Kamu
tahu, ketika saya bekerja di
lokasi konstruksi, batu-batu
berjatuhan pada kakiku
setiap waktu. Bahkan itu
tidak menghentikanku
bekerja dan..." Ditengah
kalimat itu ia berhenti. Aku
membalikkan tubuhku
memunggunginya, dan air
mata mengalir deras turun
ke wajahku. Tahun itu,
adikku 23. Aku berusia 26.
Ketika aku menikah, aku
tinggal di kota. Banyak kali
suamiku dan aku
mengundang orang tuaku
untuk datang dan tinggal
bersama kami, tetapi
mereka tidak pernah mau.
Mereka mengatakan, sekali
meninggalkan dusun,
mereka tidak akan tahu
harus mengerjakan apa.
Adikku tidak setuju juga,
mengatakan, "Kak, jagalah
mertuamu aja. Saya akan
menjaga ibu dan ayah di
sini."
Suamiku menjadi direktur
pabriknya. Kami
menginginkan adikku
mendapatkan pekerjaan
sebagai manajer pada
departemen pemeliharaan.
Tetapi adikku menolak
tawaran tersebut. Ia
bersikeras memulai bekerja
sebagai pekerja reparasi.
Suatu hari, adikku diatas
sebuah tangga untuk
memperbaiki sebuah kabel,
ketika ia mendapat
sengatan listrik, dan masuk
rumah sakit. Suamiku dan
aku pergi menjenguknya.
Melihat gips putih pada
kakinya, saya menggerutu,
"Mengapa kamu menolak
menjadi manajer? Manajer
tidak akan pernah harus
melakukan sesuatu yang
berbahaya seperti ini. Lihat
kamu sekarang, luka yang
begitu serius. Mengapa
kamu tidak mau mendengar
kami sebelumnya?"
Dengan tampang yang serius
pada wajahnya, ia membela
keputusannya. "Pikirkan
kakak ipar--ia baru saja jadi
direktur, dan saya hampir
tidak berpendidikan. Jika
saya menjadi manajer
seperti itu, berita seperti
apa yang akan dikirimkan?"
Mata suamiku dipenuhi air
mata, dan kemudian keluar
kata-kataku yang sepatah-
sepatah: "Tapi kamu kurang
pendidikan juga karena
aku!" "Mengapa
membicarakan masa lalu?"
Adikku menggenggam
tanganku. Tahun itu, ia
berusia 26 dan aku 29.
Adikku kemudian berusia 30
ketika ia menikahi seorang
gadis petani dari dusun itu.
Dalam acara pernikahannya,
pembawa acara perayaan
itu bertanya kepadanya,
"Siapa yang paling kamu
hormati dan kasihi?" Tanpa
bahkan berpikir ia
menjawab, "Kakakku."
Ia melanjutkan dengan
menceritakan kembali
sebuah kisah yang bahkan
tidak dapat kuingat. "Ketika
saya pergi sekolah SD, ia
berada pada dusun yang
berbeda. Setiap hari
kakakku dan saya berjalan
selama dua jam untuk pergi
ke sekolah dan pulang ke
rumah. Suatu hari, Saya
kehilangan satu dari sarung
tanganku. Kakakku
memberikan satu dari
kepunyaannya. Ia hanya
memakai satu saja dan
berjalan sejauh itu. Ketika
kami tiba di rumah,
tangannya begitu gemetaran
karena cuaca yang begitu
dingin sampai ia tidak dapat
memegang sumpitnya. Sejak
hari itu, saya bersumpah,
selama saya masih hidup,
saya akan menjaga kakakku
dan baik kepadanya."
Tepuk tangan membanjiri
ruangan itu. Semua tamu
memalingkan perhatiannya
kepadaku. Kata-kata begitu
susah kuucapkan keluar
bibirku, "Dalam hidupku,
orang yang paling aku
berterima kasih adalah
adikku." Dan dalam
kesempatan yang paling
berbahagia ini, di depan
kerumunan perayaan ini, air
mata bercucuran turun dari
wajahku seperti sungai.
[Diterjemahkan dari "I cried
for my brother six times"]

TANGAN YANG INDAH

ini cerita dr sebuah grup di fb.semoga bisa jadi renungan buat kita semua
"Tangan Yang Indah"
(Kepada siapa saja yang
masih punya ibu … )
Ketika ibu saya berkunjung,
ibu mengajak saya untuk
shopping bersamanya
kerana dia menginginkan
sepasang baju yg baru. Saya
sebenarnya tidak suka pergi
berbelanja bersama dengan
orang lain, Dan saya
bukanlah orang yang sabar,
tetapi walaupun demikian
kami pergi juga ke pusat
perbelanjaan membeli baju
tersebut. Kami mengunjungi
setiap butik yang
menyediakan pakaian
wanita, Dan ibu saya
mencoba sehelai demi
sehelai pakaian Dan
mengembalikan semuanya.
Seiring Hari yang berlalu,
saya mulai penat Dan
kelihatan jelas riak2 kecewa
di wajah ibu.
Akhirnya pada butik terakhir
yang kami kunjungi, ibu saya
mencoba satu baju yang
cantik . Dan karena
ketidaksabaran saya, maka
untuk kali ini saya ikut
masuk Dan berdiri bersama
ibu saya dalam fitting room,
saya melihat bagaimana ibu
mencoba pakaian tersebut,
Dan dengan susah mencoba
untuk mengenakannya.
Ternyata tangan-tangannya
sudah mulai dilumpuhkan
oleh penyakit radang sendi
Dan sebab itu dia tidak
dapat melakukannya,
seketika ketidaksabaran
saya digantikan oleh suatu
rasa kasihan yang dalam
kepadanya. Saya berbalik
pergi Dan coba
menyembunyikan air Mata
yang keluar tanpa saya
sadari. Setelah saya
mendapatkan ketenangan
lagi, saya kembali masuk ke
fitting room untuk
membantu ibu mengenakan
pakaiannya.
Pakaian ini begitu indah,
Dan ibu membelinya.
Shopping kami telah
berakhir, tetapi kejadian
tersebut terukir Dan tidak
dapat dilupakan dari ingatan

Sepanjang sisa Hari itu,
fikiran saya tetap saja
kembali pada saat berada di
dalam fitting room tersebut
Dan terbayang tangan ibu
saya yang sedang berusaha
mengenakan pakaiannya.
Kedua tangan yang penuh
dengan kasih, yang pernah
menyuapi, memandikan
saya, memakaikan baju,
membelai Dan memeluk
saya, Dan terlebih dari
semuanya, berdoa untuk
saya, sekarang tangan itu
telah menyentuh hati saya
dengan cara yang paling
berbekas dalam hati saya.
Kemudian pada malam
harinya saya pergi ke kamar
ibu saya mengambil
tangannya, lantas
menciumnya … Dan yang
membuatnya terkejut, saya
memberitahunya bahwa bagi
saya kedua tangan tersebut
adalah tangan yang paling
indah di dunia ini. Saya
sangat bersyukur bahwa
Tuhan telah membuat saya
dapat melihat dengan
sejelasnya, betapa bernilai
Dan berharganya kasih
sayang yang penuh
pengorbanan dari seorang
ibu.
Saya hanya dapat berdoa
bahwa suatu Hari kelak
tangan saya Dan hati saya
akan memiliki keindahannya
tersendiri. Dunia ini memiliki
banyak keajaiban, segala
ciptaan Tuhan yang begitu
agung, tetapi tak satu pun
yang dapat menandingi
keindahan tangan Ibu …
Note : Berbahagialah yang
masih memiliki Ibu.
Dan lakukanlah yang terbaik
untuknya …. …….

Selasa, 09 Februari 2010

AKU MENDAPAT BUNGA HARI INI

"Aku mendapat bunga hari
ini...."
Meski hari ini bukan hari
istimewa dan bukan hari
ulang tahunku.
Semalam untuk pertama
kalinya
kami bertengkar dan ia
melontarkan kata-kata
menyakitkan.
Aku tahu ia menyesali
perbuatannya
karena hari ini ia
mengirimkan aku bunga.
Aku mendapat bunga hari
ini.
Ini bukan ulang tahun
perkawinan kami atau hari
istimewa kami.
Semalam ia
menghempaskan aku ke
dinding dan mulai
mencekikku
Aku bangun dengan memar
dan rasa sakit sekujur
tubuhku.
Aku tahu ia menyesali
perbuatannya karena ia
mengirim bunga padaku hari
ini.
Aku mendapat bunga hari
ini,
padahal hari ini bukanlah
hari Ibu atau hari istimewa
lain.
Semalam ia memukuli aku
lagi,
lebih keras dibanding waktu-
waktu yang lalu.
Aku takut padanya tetapi
aku takut
meningggalkannya.
Aku tidak punya uang.
Lalu bagaimana aku bisa
menghidupi anak-anakku?
Namun, aku tahu ia
menyesali perbuatannya
semalam, karena hari ini ia
kembali mengirimi aku
bunga.
Ada bunga untukku hari ini.
Hari ini adalah hari
istimewa : inilah hari
pemakamanku.
Ia menganiayaku sampai
mati tadi malam.
Kalau saja aku punya cukup
keberanian dan kekuatan
untuk meninggalkannya,
aku tidak akan mendapat
bunga lagi hari ini.... (puisi ini aku dapatkan dari salah satu teman di facebookku,kata dia ini adalah salah satu puisi yg menyerukan agar tak ada lagi kekerasan terhadap wanita seperti yg sedang marak sekarang ini):-)