Cari Blog Ini

Senin, 29 Maret 2010

SUAMIKU BUKAN LELAKI SEMPURNA

SUAMIKU BUKAN LELAKI SEMPURNA

Dulu di tengah hangatnya
teh panas dan sepotong
rotii di pagi hari, saya dan
teman-teman satu kos
sering ngobrol tentang
sosok ikhwan atau suami
ideal.

Menurut kami seorang
ikhwan yang paham
agama pastilah sosok
yang amat ’super’. Super
ngemong, sabar,
romantis, dan sebagainya,
tiada cela dan noda.Dalam pikiran polos kami
saat itu, seorang ikhwan
itu pasti ittibaussunnah
dalam segala hal,
termasuk dalam berumah
tangga.

Namun seiring
berjalannya waktu
akhirnya saya menyadari,
ternyata dulu kami
melupakan satu hal. Yaitu
bahwa seorang ikhwan
adalah juga manusia, yang
tentu saja memiliki sifat
“ manusiawi”.

Mereka pun
memiliki sederet masalah,
dan mereka bukan
malaikat. Jadi, tidak layak
tentunya jika berbagai
tuntutan kita bebankan
kepada mereka.

Membangun harapan
adalah sah-sah saja.
Hanya saja, jangan kaget
setelah bertemu realita.
Setelah menikah,
menyatukan dua hati yang
berbeda bukanlah hal
mudah. Menginginkan
sosok suami yang bisa
menyelesaikan konflik
tanpa menyisakan sedikit
pun sakit hati atau
masalah adalah harapan
berlebihan.
Apalagi mengharap suami
yang full romantis di
antara sekian beban yang
ditanggungnya.

Suami kita
hanyalah laki-laki biasa
yang punya masa lalu dan
latar belakang berbeda
dengan kita. Mereka
seperti kita juga, punya
banyak kelemahan di
samping kelebihannya.
Lantas apakah harus
kecewa kalau sudah dapat
suami tapi masih jauh dari
harapan waktu muda?

Tidak juga. Hal terpenting
adalah jangan lagi
berandai-andai dan
mengeluh. Berpikirlah
progresif, jangan regresif.
Pikirkan solusi, jangan
mempertajam konflik atau
mendramatisir keadaan.Komunikasikan apa yang
ada dalam benak kita
dalam situasi terbaik.

Fitrah wanita dengan porsi
perasaan yang lebih
dominan seharusnya
menjadikan kaum hawa
lebih pintar memilih
waktu curhat yang tepat.
Sikap “nrimo” atas
kekurangan suami bisa
jadi pilihan tepat untuk
mengurangi tingkat
kekecewaan.

Konsepnya semakin Anda
melihat perbedaan,
semakin terluka hati ini
(self-fulfilling prophecy).

Jadi, carilah titik
persamaan untuk meraih
kebahagiaan. Dan ingat,
dari sekian akhwat yang
ada, Andalah yang terpilih
untuk menjadi belahan
hatinya. Karena itu
cintailah suami Anda apa
adanya.

Bagi para akhwat yang
belum menikah, tetaplah
“memanusiakan” manusia.
Para ikhwan itu adalah
seperti diri kita juga.
Mereka bukan Superman.
Ingat pula bahwa jodoh
ada di tangan Allah
Subhanahu wa Ta ’ala.

Tetaplah perbaiki diri baik
secara dien maupun fisik.
Masalah siapa suami dan
bagaimana sosok suami
kita kelak adalah hak
prerogatif Allah
Subhanahu wa Ta’ala.

Singkirkan sederetan
tuntutan “super” bagi
calon suami. Semakin
banyak tuntutan, bila tak
terpenuhi akan membuat
tingkat kekecewaan
semakin tinggi.
Percayalah pada janji
Allah, bahwa suami yang
baik adalah untuk istri
yang baik pula, insya
Allah. Lagi pula Rasulullah
shallallahu alaihi wa
sallam telah menegaskan
dalam salah satu
haditsnya bahwa memilih
suami adalah karena
ketinggian agama dan
akhlaknya, bukan prioritas
sekunder lainnya.

Wallahu a ’lam.
(Ummu Aisyah).

Sumber : jilbab.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar