Cari Blog Ini

Selasa, 30 Maret 2010

SUNAH, HIKMAH DAN ETIKA MENJILATI TANGAN SESUDAH MAKAN

Sunnah, Hikmah dan Etika
Menjilati Tangan Sesudah
Makan
Oleh: Badrul Tamam
Salah satu karakteristik Islam
yang menonjol adalah
bersifat universal yang
mencakup segala aspek
kehidupan manusia.
Menyentuh segenap dimensi
kehidupan. Mengatur manusia
dari semenjak bangun tidur
hingga tidur kembali.
Merambah pada
pensyari'atan dari semenjak
manusia dilahirkan hingga ia
dikuburkan. Dan seorang
muslim diperintahkan untuk
mengamalkan universalitas
Islam secara total, tidak
boleh dia mengambil
sebagian dan meninggalkan
yang lainnya.
اَي اَهُّيَأ َنيِذَّلا اوُنَمَآ
اوُلُخْدا يِف ِمْلِّسلا ًةَّفاَك
"Hai orang-orang yang
beriman, masuklah kamu ke
dalam Islam secara
keseluruhannya." (QS. Al
Baqarah: 208)
"Apakah kamu beriman
kepada sebahagian Al Kitab
(Taurat) dan ingkar terhadap
sebahagian yang lain?
Tiadalah balasan bagi orang
yang berbuat demikian dari
padamu, melainkan kenistaan
dalam kehidupan dunia, dan
pada hari kiamat mereka
dikembalikan kepada siksa
yang sangat berat." (QS. Al
Baqarah: 85)
Salah satu contoh dari
universalitas ajaran Islam
adalah bahwa Islam mengatur
persoalan makan dan minum.
Banyak hadits Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam
yang memberikan tuntunan
dalam hal ini. Darinya, para
ulama menyusun adab-adab
makan dan minum dalam
kitab-kitab mereka. Sehingga
semakin mudahlah kita untuk
memahami dan mengamalkan
tuntunan Islam dalam
masalah ini. Di antaranya,
membaca basmalah sebelum
makan, makan dengan
tangan kanan, makan dengan
duduk, tidak bersandar ketika
makan, tidak mencela
makanan, dan selainnya.
Ada satu adab makan yang
kurang diperhatikan. Bahkan,
terkadang jika diamalkan
banyak umat Islam yang
mencibirnya, padahal hadits
cukup jelas menjelaskannya.
Yaitu menjilati tangan dan
piring sebelum mengelap
atau mencucinya agar tidak
ada makanan yang tersisa.
Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda:
اَذِإ َلَكَأ ُمُكُدَحَأ َماَعَّطلا
َالَف ْحَسْمَي ُهَدَي ىَّتَح
اَهَقَعْلَي ْوَأ اَهَقِعْلُي َو اَل
َعَفْرَي ًةَفْحَص ىَّتَح
اَهَقَعْلَي ْوَأ اَهَقِعْلُي،
َّنِإَف َرِخآ ِماَعَّطلا ِهْيِف
ٌةَكَرَب
"Apabila salah seorang kamu
makan makanan, janganlah
dia mengelap tangannya
hingga menjilatinya atau
meminta orang menjilatinya.
Dan janganlah dia
mengangkat piringnya hingga
menjilatinya atau meminta
orang untuk menjilatinya.,
karena pada makanan
terakhir terdapat
barakah." (HR. Bukhari no.
5465; Muslim no. 2031, Abu
Dawud, Nasai, Ahmad dan
lainnya. Dishahihkan oleh al
Albani dalam al Silsilah al
Shahihah: 1/675)
Syaikh Nashiruddin al Albani
mengatakan, "dalam hadits
ini terdapat adab yang indah
di antara adab-adab makan
yang wajib. Yaitu menjilati
jari-jari dan mengelap piring
dengan jari-jari. Yang
dimaksud wajib adalah
karena Nabi shallallahu
'alaihi wasallam
memerintahkannya dan
melarang meninggalkannya.
Maka jadilah seorang mukmin
yang selalu melaksanakan
perintahnya shallallahu 'alaihi
wasallam dan meninggalkan
larangannya. Janganlah dia
menghiraukan para pencela
yang selalu menghalangi
manusia dari jalan Allah, baik
mereka menyadarinya atau
tidak."
Pada hari ini, banyak kaum
muslimin meninggalkan
sunnah ini karena
terpengaruh dengan tradisi
dan budaya orang-orang
Eropa yang kafir. Yaitu tradisi
dan budaya yang didasarkan
pada prinsip materialistik
yang tidak mengenal
penciptanya dan bersyukur
kepada nikmat-nikmat-Nya.
Karenanya, seorang muslim
harus berhati-hati membebek
mereka dalam tradisi dan
budayanya, jangan sampai dia
menjadi bagian mereka
berdasarkan sabda Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam:
"siapa menyerupai suatu
kaum maka dia bagian dari
mereka." (HR. Ahmad, Abu
Dawud dan dishahihkan Ibnu
Hibban. Sedangkan Syaikh al
Albani menghasankannya
dalam al Misykah)
Dalam realita, terkadang kita
dapati adanya kaum yang
sudah rusak akalnya mencela
orang yang melaksanakan
sunnah ini. Mereka
menyangka bahwa menjilati
jari-jari adalah tercela.
Seolah-olah mereka tidak
tahu bahwa makanan yang
tersisa di tangan atau
piringnya bagian dari yang
mereka makan. Jika seluruh
makanannya tidak buruk,
maka bagian darinya tentu
juga tidak buruk. Tindakan ini
tidaklah lebih besar bila
dibandingkan dengan dia
menghisap jari-jarinya dengan
kedua bibirnya. Bagi orang
berakal, tidak akan ragu
bahwa hal sunnah ini tidak
apa-apa. Bahkan, terkadang
seseorang ketika berkumur
dia memasukkan tangannya
ke mulutnya dan menggosok-
gosok giginya dan bagian
dalam mulutnya. Dan
nyatanya tidak ada orang
yang berkata itu menjijikkan
atau tidak layak dilakukan.
. . Maka jadilah seorang
mukmin yang selalu
melaksanakan
perintahnya shallallahu
'alaihi wasallam dan
meninggalkan
larangannya.
Janganlah dia
menghiraukan para
pencela yang selalu
menghalangi manusia
dari jalan Allah, baik
mereka menyadarinya
atau tidak. . (Syaikh al
Albani)
Cara menjilat tangan
Diriwayat al Thabrani dalam
al Ausath, dari hadits Ka'b bin
'Ujrah, "aku melihat
Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam makan dengan tiga
jari; yaitu ibu jari, telunjuk,
dan jari tengah. Kemudian
aku melihat beliau menjilati
ketiga jarinya tersebut
sebelum mengusapnya. Jari
tengah dulu, lalu jari
telunjuk, kemudian ibu jari.
Hikmahnya, karena jari
tengah lebih kotor karena
lebih panjang sehingga sisa
makanan lyang menempel
lebih banyak dibandingkan
jari yang lain. Karena
panjang, sehingga lebih dulu
jatuh ke makanan. Boleh jadi,
yang dijilat dulu adalah
bagian dalam telapak lalu ke
bagian luarnya. Dimulai dari
jari tengah, lalu berpindah ke
jari telunjuk dan berakhir ke
ibu jari.
Menjilati jari-jari bisa
dilakukan sendiri atau
meminta orang dekatnya,
seperti istri, anak, atau orang
tua untuk menjilatinya. Hal ini
sebagaimana yang disebutkan
dalam hadits di atas, " Dan
janganlah dia mengangkat
piringnya hingga menjilatinya
atau meminta orang untuk
menjilatinya., karena pada
makanan terakhir terdapat
barakah."
Syaikh Ibnul Utsaimin
rahimahullah berkata tentang
hal ini, " mengenai menjilati
jari sendiri maka ini adalah
satu perkara yang jelas.
Sedangkan meminta orang
lain untuk menjilati jari kita
adalah sesuatu hal yang
mungkin terjadi. Jika rasa
cinta suami istri itu sangatlah
kuat, maka sangatlah
mungkin seorang istri
menjilati tangan suaminya,
atau seorang suami menjilati
tangan istrinya. Jadi hal ini
adalah suatu hal yang
mungkin terjadi."
Menjilati jari-jari bisa
dilakukan sendiri atau
meminta orang
dekatnya, seperti istri,
anak, atau orang tua
untuk menjilatinya.
Hikmah menjilat tangah dan
piring
Perintah untuk menjilati sisa
makanan yang menempel
pada tangan dan piring
sebelum dibersihkan, baik
dengan dilap atau dicuci,
memiliki beberapa alasan.
Dalam beberapa hadits
disebutkan dengan jelas, yaitu
untuk meraih berkah
makanan. Namun bukan
berarti hadits-hadits itu
membatasi hikmah lainnya.
Sesungguhnya makanan yang
kita santap mengandung
barakah. Namun kita tidak
mengetahui letak keberkahan
tersebut. Apakah dalam
makanan yang sudah kita
santap, ataukah yang tersisa
dan melekat di jari, ataukah
yang tersisa di piring, ataukah
berada dalam suapan yang
jatuh ke lantai. Karenanya
kita harus menjaga hal ini
agar mendapat barakah.
Ibnu Daqiq al-'Ied
rahimahullah, berkata,
"alasan tentang hal ini sangat
jelas dalam beberapa
riwayat. Yaitu, "karena dia
tidak tahu pada makanan
mana terdapat barakah."
Dalam riwayat Muslim, di
ujung hadits Jabir
diterangkan:
اَذِإ ْتَطَقَس ةَمْقُل ْمُكدَحَأ
ْطِمُيْلَف اَم اَهَباَصَأ ْنِم
ىًذَأ اَهْلُكْأَيْلَو ، اَلَو
حَسْمَي هدَي ىَّتَح اَهقَعْلَي
ْوَأ اَهقِعْلُي ، ُهَّنِإَف اَل
يِرْدَي يِف ّيَأ هماَعَط
ةَكَرَبْلا
"Jika makanan salah seorang
kalian jatuh, hendaklah
diambil dan disingkirkan
kotoran yang melekat
padanya, lalu memakannya.
Dan janganlah dia mengusap
tangannya
(membersihkannya) sehingga
menjilatinya atau."
Dalam riwayat al Thabrani
dari hadits Abu Sa'id
disebutkan, "karena dia tidak
tahu pada makanannya yang
mana dia diberkahi." (Musli
juga meriwayatkan yang
serupa dari Anas dan Abu
Hurairah).
Syaik Ibnu Utsaimin
mengatakan, “selayaknya
piring atau wadah yang
dipakai untuk meletakkan
makanan dijilati. Artinya jika
kita sudah selesai makan,
maka hendaknya kita jilati
bagian pinggir dari piring
tersebut sebagaimana yang
diperintahkan oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
karena kita tidak mengetahui
letak keberkahan
makanan." (Syarah Riyadhus
Shalihin Juz VII hal 245)
Sesungguhnya makanan
yang kita santap
mengandung barakah.
Namun kita tidak
mengetahui letak
keberkahan tersebut.
Apakah dalam
makanan yang sudah
kita santap, ataukah
yang tersisa dan
melekat di jari, . .
Hikmah lainnya, agar tidak
tumbuh sifat sombong dalam
diri dengan meremehkan
makanan yang sedikit dan
menurut kebiasaan dianggap
sesuatu yang remeh. Al Qadli
'Iyadh berkata,
"Sesungguhnya Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam
memerintahkan hal itu agar
tidak meremehkan makanan
yang sedikit." (Dalam al Fath)
Syaikh Ibnul Utsaimin dalam
Syarh Riyadhus Shalihin
mengungkapkan hikmah
lainnya dari sisi medis, "Ada
orang yang menyampaikan
informasi kepadaku yang
bersumberkan dari
keterangan salah seorang
dokter, bahwa ruas-ruas jari
tangan ketika digunakan
untuk makan itu
mengeluarkan sejenis cairan
yang membantu proses
pencernaan makan dalam
lambung. Seandainya
informasi ini benar maka ini
adalah di antara manfaat
mengamalkan sunnah di atas.
Jika manfaat secara medis
tersebut memang ada, maka
patut disyukuri. Akan tetapi
jika tidak terjadi, maka hal
tersebut tidaklah
menyusahkan kita karena
yang penting bagi kita adalah
melaksanakan perintah
Nabi.” (Syarah Riyadhus
Shalihin Juz VII hal 243-245)
. . . agar tidak tumbuh
sifat sombong dalam
diri dengan
meremehkan makanan
yang sedikit dan
menurut kebiasaan
dianggap sesuatu yang
remeh.
Makna Barakah
Adanya barakah menjadi
alasan yang disebutkan dalam
perintah menjilati tangan dan
piring seusai makan. Lalu apa
makna barakah?
Pada dasarnya barakah
bermakna kebaikan yang
melimpah, berkembang, dan
bertambah serta lestari
kebaikan tersebut. Sedangkan
maksud makanan yang
berbarakah adalah makanan
yang bisa mengenyangkan,
tidak menimbulkan gangguan
pada tubuh, dan menjadi
sumber energi untuk berbuat
ketaatan, (sebagaimana yang
disebutkan oleh Imam al
Nawawi)
Mencuci tangan sesudah
makan
Pada hadits di awal tidak
disebutkan cara khusus
membersihkan tangan
sesudah makan dengan
mencuci. Yang disebutkan
cukup mengusap
(mengelap)nya. Sedangkan
menjilatinya atau meminta
orang lain untuk menjilatinya
sangat-sangat diperintahkan.
Bahkan Ibnu Hazm
rahimahullah berpendapat
hal itu wajib.
Namun, dalam beberapa
riwayat yang lain terdapat
anjuran dan contoh dari
Rasulullah shallallaahu 'alaihi
wasallam dan para shahabat
tentang mencuci tangan
sesudah makan. Namun,
pelaksanaannya sesudah
sesudah menjilati tangan dan
piring yang digunakan makan.
Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu meriwayatkan, bahwa
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam bersabda, “Barang
siapa yang tidur dalam
keadaan tangannya masih
bau daging kambing dan
belum dicuci, lalu terjadi
sesuatu, maka janganlah dia
menyalahkan kecuali dirinya
sendiri.” (HR. Ahmad, no.
7515, Abu Dawud, 3852 dan
lain-lain, hadits ini
dishahihkan oleh al-Albani)
Dalam riwayat lain, Abu
Hurairah menyatakan, bahwa
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam pernah makan
belikat kambing. Sesudah
selesai makan beliau
berkumur-kumur, mencuci
dua tangannya baru
melaksanakan shalat. (HR.
Ahmad, 27486 dan Ibn Majah
493, hadits ini dishahihkan
oleh al-Albani)
Abban bin Utsman bercerita,
bahwa Utsman bin Affan
pernah makan roti yang
bercampur dengan daging,
setelah selesai makan beliau
berkumur-kumur dan mencuci
kedua tangan beliau. Lalu dua
tangan tersebut beliau
usapkan ke wajahnya. Setelah
itu beliau melaksanakan
shalat dan tidak berwudhu
lagi. (HR. Malik, no. 53)
Wallahu A'lam bi al
Shawaab. . . .
(PurWD/voa-islam.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar